-->

Notification

×

Iklan

Iklan searcher

Iklan

Akademisi Sebut Isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Bentuk "Abusive Constitutionalism"

Kamis, 17 Maret 2022 | Maret 17, 2022 WIB Last Updated 2022-03-17T08:19:56Z

 


Jakarta (kabar-nusantara.com) -  Wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden yang disampaikan sejumlah  politisi  terus berjalan. Sejumlah akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyatakan usulan melakukan amendemen adalah bentuk abusive constitutionalism. Dilansir dari laman kompas.com, Kamis (17/3/22)

 

"Mengutip David Landau, KIKA menilai rencana perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen konstitusi adalah bentuk abusive constitutionalism, penggunaan mekanisme yang konstitusional untuk mengubah konstitusi dalam rangka tujuan-tujuan non-demokratis," demikian isi pernyataan pers KIKA yang diterima Kompas.com, Rabu (16/3/2022).

 

Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dalam abusive constitutionalism. Yaitu ada penguasa yang menggunakan cara-cara perubahan yang diatur di dalam konstitusi untuk mengubah konstitusi yang berlaku.

 

Ciri lainnya adalah penguasa bakal melakukan berbagai macam amendemen terhadap konstitusi yang sedang berlaku. Dan yang terakhir adalah hal itu tidak sejalan dengan norma konstitusionalisme yang dikelompokkan berdasarkan nilai konstitusi.

 

KIKA menyatakan mereka merumuskan empat sikap terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden itu. Yang pertam adalah perubahan konstitusi untuk perpanjangan masa jabatan presiden bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme.

 

"Kedua, jantung dari reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah adanya pembatasan masa jabatan presiden. Upaya perpanjangan masa jabatan presiden jelas mencederai semangat reformasi dan hanya akan mengembalikan otoritarianisme di Indonesia," demikian isi pernyataan KIKA.

 

Lantas poin yang ketiga adalah wacana perpanjangan masa jabatan presiden adalah penghinaan terhadap konstitusionalisme dan prinsip reformasi demokrasi, serta menandakan makin suburnya oligarki dan kartelisasi partai.

 

"Pada konteks ini, elite lebih banyak mengejar tujuan-tujuan materialnya sendiri ketimbang memikirkan kemaslahatan rakyat," lanjut KIKA dalam pernyataan pers.

 

Sedangkan yang terakhir adalah pembatasan masa jabatan presiden adalah bentuk mekanisme saling mengimbangi dan saling kontrol (checks and balancing) di antara kelembagaan negara, seperti yang dipaparkan dalam teori politik ilmuwan Prancis, Montesquieu. Menurut KIKA mekanisme itu penting karena membuat Indonesia menjadi negara yang berlandaskan hukum (rechstaat).

 

"Tanpa pembatasan, Indonesia akan menjadi machstaat (negara kekuasaan)," lanjut pernyataan KIKA.

 

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang mulanya mengomentari isu terkait perpanjangan masa jabatan presiden pada 2021 lalu. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar lantas mengusulkan gagasan tentang penundaan pemilu 2024.

 

Tidak lama kemudian Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengusulkan hal yang sama. Selain alasan pemulihan ekonomi, Muhaimin mengatakan banyak akun di media sosial setuju dengan usulannya agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda.

 

Menurut analisis big data perbincangan di media sosial, kata Muhaimin, dari 100 juta subjek akun di medsos, 60 persen di antaranya mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.

 

Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam wawancara yang diunggah di sebuah akun YouTube menyatakan dia memiliki data aspirasi rakyat Indonesia yang ingin Pemilu 2024 ditunda.

 

Menurut dia, masyarakat ingin kondisi sosial politik yang tenang serta perbaikan kondisi perekonomian nasional. Luhut mengklaim terdapat big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai bagian dari koalisi pemerintah menyatakan mereka menolak wacana penundaan pemilu.

 

Namun, mereka mendukung usulan perubahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode dengan alasan klaim bahwa rakyat masih menghendaki dan belum ada tokoh yang bisa menggantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memimpin.

 

Jokowi pernah menegaskan tidak pernah berniat ingin menjadi presiden tiga periode karena menyalahi konstitusi. Sebab, UUD 1945 mengatur, kekuasaan hanya bisa dipegang maksimal selama dua periode untuk orang yang sama.

 

"Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, 4 Maret 2022 lalu. (Penulis : Aryo Putranto Saptohutomo;  Editor : Aryo Putranto Saptohutomo)

  

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Akademisi Sebut Isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Bentuk "Abusive Constitutionalism"", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/03/17/08070011/akademisi-sebut-isu-perpanjangan-masa-jabatan-presiden-bentuk-abusive.

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:

Android: https://bit.ly/3g85pkA;  iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

×
Berita Terbaru Update