Artikel Opini: oleh Rofinus Bria, Kab. Malaka - NTT
Berkiprah menekuni profesi sebagai wartawan itu menyenangkan, tetapi gak semudah dan seenak orang kaya. Tiap hari menyusuri kehidupan yang tidak menentu, luntang lantung sendirian kesana dan kemari mengumpulkan informasi untuk disajikan di media, agar bisa mendidik anak-anak negeri. Namun yang menjadi korban kehidupan rumah tanggaku berantakan sendiri.
Niat hati ingin berbakti kepada Nusa dan Ibu Pertiwi melalui karya jurnalistik yang murni. Dan yang pasti, Aku sudah siap jika harus melewati nasibbsedih seperti ini.
Sejak tahun 2002 saya mulai berkecimpung di dunia pers, menyandang gelar sebaga seorang Wartawan. Banyak beragam sifat orang yang sudah kutemui bahkan ada kesempatan- kesempatan langka yang kuperjuangkan untuk menjadikan status wartawan itu penting, namun semuanya belum kutemukan seperti apa kebahagiaan dari seorang wartawan.
Sekitar tahun 2004/2005 kami menjadi Guru di Sekolah menegah pertama (SMP) dan SMA pada salah satu Sekolah swasta yang didirikan oleh senior- senior wartawan dan kami juga mendapat kesempatan mengajar sambil meliput berbagai peristiwa di daerah Atambua, Kabupaten Belu hingga tahun 2008.
Awalnya kami bergabung dengan Work Shopnya AJI di sebuah Hotel bernama Hotel Timor di Kabupaten Belu. Saat itu kami mulai mendapat bekal beberapa materi ikmu jurnalistik dan mendapat buku-buku penunjang kewartawanan dikala itu.
Dari itu kami bersemangat karena namaku juga sudah mulai tercantum di Box redaksi dan entah itu nam orang lain atau benar-benar itu saya, hanya Pemred yang tahu rahasianya tetapi hal itu telah membuat saya bersemangat sekali. Karena saya salah satu nama yang tertulis sebagai staf ahli redaksi Timor News.
Redaksi ini membuat kami makin cinta dengan dunia Pers. Beberapa media disana kami sempat bergabung dan hanya TimorNews yang menginspirasi saya serius dengan mencari berita tapi sayangnya tidak ada gaji yang diberikan, malahan kami tiap bulan diberi jatah koran untuk dijual ke pelanggan, tiap satu koran kami mendapat untung Rp 5000. Namun di awal pelanggan belum bayar, baru pada bulan berikutnya mereka bayar.
Saat itu istriku menyarankan kami untuk berenti jadi wartawan, lebih baik kerja jadi tukang ojek katanya. Kami memang merasa tidak terlalu berat sih tuntutan kebutuhan rumah tangga, karena istriku berprofesi sebagai seorang Bidan PNS.
Keadaan berlanjut tetus tapi suatu hari kami mendapat tawaran dari teman di Kupang sebagai instalator perangkat top tv/indovision. Pada tahun 2012 itu setiap hari kami sibuk banyak pekerjaan karena banyak pelanggan, lalu kami mengajak teman- teman wartawan untuk menjadi tenaga bantu. Lalu kami masukan sebagai tenaga teknis karena memang kerjaan itu untuk orang media.
Beberapa teman kerja bersamaku, dan saya selalu berharap agar nasib kami bisa berubah. Namun kesempatan itu mulai menurun karena pelanggan sering komplen hasil instalasi aktifasinya lambat dan bahkan pendapatan sudah mulai susah.
Kemudian kami mencoba jadi ojek, untuk mendapat uang bensin sambil mencari berita, kami sadar kalau sebenarnya belum terampil menulis berita, tetapi waktu itu tidak ada penghasilan sama sekali dari pekerjaan wartawan.
Suatu saat Istriku mengamok terus tapi bukan karena kami wartawan namun karena pulang larut malam dan gak bawa uang. Kami bilang jangan marah yah hari ini tagihan koran tidak ada yang bayar. Istriku nangis dan kami tahu ia kesal memilih kami jadi suaminya.
Melakoni kehidupan sedih seperti itu kami pasrah saja. Lambat laun istriku meminta izin untuk tugas belajar di Kupang dan kami izinkan lalu telepon ke Waka Polda, pak istriku mau tugas belajar di Kupang saya boleh minta pengaman untuk istri saya? Beliau bilang yah nanti saya jagain.
Saat pekerjaan Instalator masih berjalan tahun 2013 hingga 2015. Kemudian pada Triwulan pertama tahun 2013 sudah mulai cekcok antara istri dan saya. Penyebabnya karena pindah kost tanpa sepengetahuan saya. Saya juga salah sih gak sanggup bayar anak orang, ya memang karena pendapatan dari amplop 50rb doang, itupun kalau ada kegiatan di Instansi, kalo gak ada ya nihil.
Perjalanan hidup kami ini sungguh membuat jera tapi semangat juangku tidak luntur karena ingin berbakti kepada Ibu Pertiwi dan menurut kami profesi wartawan itu terasa keren seimbang dengan para pejabat, karena sering bergaul dengan pejabat begitu. Dan istri juga sepakatlah dari pada kerja ojek itu prinsipku.
Setahun kemudian datang ujian yang lebih berat, karena kami ditolak mertua agar jangan nembawa barang-barang top tv itu ke rumahnya. Karena saya waktu itu masih numpang di rumah mertua. Keadaan makin susah, makin sulit dan kami menangis, apalagi Istri juga minta duit. Keadaan serba dalah deh pokoknya.
Dan saya gak minta uang kepada teman yang punya uang karena malu. Tapi orang lain gak ada yang mikir kalau saya lagi susah. Mertua suruh saya "Sono cari kerja dulu, istri kamu sekarang tinggal di kost, gaji istri kamu itu berapa mana bayar kost, bayar sekolahnya, samain kamu dan anak-anak," katanya. Tetapi memang saya bekerja sebagai wartawan tetapi sebenarnya saya juga punya kebun dan sawah, jadi untuk soal makan dan minum gak susah, tapi masalah uang ini kasihan kami benar-bebar gak ada.
Entah pemred yang dapat atau gimana dapat uangnya kami gak tahu. Sempat putus asa di tahun saat pak Jokowi jadi calon Presiden yang pertama. Saat itu saya ikut kerja jadi tukang tambal ban di Tenu mendapat bayaran Rp. 5000/hari. Lalu saya mulai bekerja jadi montir atau bengkel sepeda motor. Dan itupun makan di tanggung bos, jadi uangnya bisa bawa pulang untuk jajan anak disekolah.
Tapi jadi montir motor gak berhasil juga, akhirnya anak gak bisa kuurus, sedangkan ada motor istri yang dari kredit, mau kupake mencari berita tapi saya gak ada duit bust beli bensin, akhirnya saya gak diterima dirumah tanggaku dan kami pisah.
Kami mulai hidup sendiri dengan jualan Camilan snack, kripik ubi singkong keliling, itu menurut saya yang kerja pasti sekali duit banyak. Tapi ternyata kendala sakit encok disaat parut ubi dan bungkusin snack, capek kalau sendirian gak ada yang bantuin. Saya sakit struk karena kerja lembur 48 jam langsung mandi untuk berngkat jualan, saat kena itu hampir pingsan di kamar mandi tetapi imanku kuat gak jadi jatuh dan sembuh kembali.
Kemudian dari tahun 2015 - 2019 kami jualan kripik sambil menulis berita lagi, dan akhirnya bisa bertemu dengan diklat wartawan di LPWI, untuk belajar lagu tentang ilmu jurnalistik agar bisa memperbaiki hasil tulisan berita yang standar nasiinal, sesuai yang diajarkan oleh para pelatih dari LPWI, sekian...